BUDAYA - Ragam cagar budaya yang dilindungi terutama untuk mempertahankan filososfis sejarah bangsa perlu di sebarluaskan agar generasi penerus tak luput dan alih mata dalam menjaganya. Mengenang dan menjaga kelestarian suatu cagar budaya yang merupakan sebuah bukti jati diri bangsa patut terus diapresiasikan untuk mempertahankan nilai edukasi dan estetika yang terkandung didalamnya.
Salah satunya adalah Monumen Batu Batikam. Batu Batikam adalah salah satu benda cagar budaya bersejarah di Jorong Dusun Tuo, Nagari Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.
Jika diartikan kedalam Bahasa Indonesia, Batu Batikam berarti batu yang tertusuk. Menurut sejarah, lubang atau tusukan yang ada di tengah batu itu merupakan bekas dari tusukan keris Datuak Parpatiah Nan Sabatang.
Luas situs cagar budaya Batu Batikam adalah 1.800 meter persegi, dulu berfungsi sebagai medan nan bapaneh atau tempat bermusyawarah kepala suku.
Susunan batu disekeliling batu batikam seperti sandaran tempat duduk, berbentuk persegi panjang melingkar. Pada bagian tengah terdapat batu batikam dari bahan batuan Andesit.
Batu ini berukuran 55 x 20 x 40 sentimeter, dengan bentuk hampir segitiga. Prasasti Batu Batikam menjadi salah satu bukti keberadaan Kerajaan Minangkabau di zaman Neolitikum. Batu batikam merupakan batu tertusuk yang melambangkan pentingnya perdamaian dan musyawarah-mufakat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Pada zaman dahulu Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan adalah dua orang saudara yang berlainan bapak. Datuak Parpatiah Nan Sabatang adalah seorang sosok yang dilahirkan dari seorang bapak yang memiliki darah aristokrat (cerdik pandai), sementara Datuak Katumanggungan adalah sosok yang dilahirkan dari seorang bapak yang otokrat (raja-berpunya).
Tetapi kedua di antara mereka lahir dari seorang rahim ibu yang sama, dimana seorang wanita biasa seperti lainnya. Datuak Parpatiah menginginkan masyarakat diatur dalam semangat yang demokratis, atau dalam tatanannya, "Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi".
Namun Datuak Katumanggungan menginginkan rakyat diatur dalam tatanan yang hierarki "berjenjang sama naik, bertangga sama turun". Dan karena perbedaan tersebut mereka berdua bertengkar hebat. Untuk menghindari pertikaian dan tidak saling melukai, Datuak Parpatiah dan Datuak Katumanggungan kemudian menikam batu tersebut dengan keris sebagai pelampiasan emosinya.
Maka dari itu Batu Batikam memiliki sebuah lubang yang menembus dari arah sisi depan dan belakang. Hingga saat ini, pendapat yang berbeda antara Datuk Parpatih nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan masih terlihat dari adanya dua keselaran di Minangkabau, yakni keselarasan Koto Pilang, yang mencerminkan sistem kekuasaan ala Datuk Katumanggungan dan keselarasan Bodi Chaniago yang merupakan perwujudan sistem pemeirntah ala Datuk Parpatih Nan Sabatang.
Editor : Saridal MaijarSumber : 2200